Thailand Tanpa Rama Sembilan


Tulisan ini saya buat tanggal 15 Oktober 2019 tepat dua hari setelah perayaan meninggalnya Raja Thailand Raja Bhumibol Adulyadej yang mangkat pada tanggal 13 Oktober 2016 tiga tahun silam. Ada hal yang menarik perhatian saya terkait dengan kepemimpinan Raja Thailand yang biasa disebut juga dengan Rama IX. Mengapa dia begitu dicintai oleh rakyat Thailand dan kepergiannya tiga tahun silam ditangisi oleh seluruh rakyat di seantero Thailand bahkan ditetapkan hari berkabungnya pun tidak tanggung-tanggung yaitu selama satu tahun dari Oktober 2016 – Oktober 2017.

Mimpi buruk bagi rakyat Thailand itu kini jadi kenyataan. Raja Bhumibol Adulyadej atau Rama IX (nama dan gelaran aslinya panjang sekali)  akhirnya mangkat  setelah sakit keras berkepanjangan, pada 13 Oktober 2016. Dua bulan saja menjelang milad-nya yang ke 89. Raja yang berkuasa di Thailand sejak tahun 1946 dan disebut-sebut sebagai raja yang berkuasa terlama sekaligus terkaya dalam sejarah dunia ini meninggalkan legacy yang luar biasa bagi rakyat Thailand.  Legacy Rama IX yang luar biasa adalah karisma dan wibawanya selaku “father of the nation” dan pemersatu Thailand. Ia adalah ayah sesungguhnya bagi rakyat Thailand.

Tak heran, tanggal kelahirannya yaitu 5 December (1927) dijadikan sebagai Hari Ayah (Father Day) di Thailand. Legacy nya semakin kuat karena selama tujuh puluh tahun berkuasa ia berhasil mempersatukan Thailand dan membawa Thailand ke dalam pusaran kekuatan dan kesejahteraan ekonomi sosial dan budaya. Pembangunan pertanian, pariwisata, industri-manufaktur, pendidikan, kesehatan, hingga olahraga melambung pesat semasa kekuasaannya.

Satu hal yang bermasalah adalah stabilitas politik. Krisis politik dan kekuasaan memang amat sering terjadi di Thailand. Utamanya ketika Thailand beralih dari Monarkhi Absolut menuju Monarkhi Konstitutional sejak 1932.  Perdana Menteri demi Perdana Menteri dan Kabinet demi Kabinetpun bergonta ganti sepanjang masa kekuasaan Rama IX.  Apakah melalui pemilu ataupun via kudeta. Hebatnya, monarkhi Thailand yang dipimpin Rama IX tetap tak terusik. Alih-alih terusik, semua pemimpin eksekutif Thailand yang lahir, entah melalui pemilu ataupun via kudeta, selalu meminta restu dan pengesahan dari Rama IX. Dan semua tak akan berani duduk sejajar ketika menghadapnya ketika meminta restu. Mereka akan duduk di lantai dalam posisi menghormat. Tak pandang apakah ia seorang Perdana Menteri ataupun Jenderal Tertinggi angkatan bersenjata. Maka, bagi rakyat Thailand, ia tak sekedar raja, namun juga manusia setengah dewa (Demigod) ataupun “setengah Tuhan”. Kebijakan dan perintahnya adalah sakral dan wajib ditaati tanpa reserve.

Dan di Thailand, memang ada tiga serangkai yang sakral dan tak boleh diusik oleh siapapun, yaitu negara (monarkhi), agama (Buddhism) dan Raja. Mengusik salah satunya atau ketiga-tiganya adalah sama dengan mencari gara-gara.  Apalagi, Hukum Lese Majeste (larangan menghina, mengancam dan  memfitnah Raja dan Keluarga Raja) masih berlaku sejak tahun 1908 sampai sekarang.  Ancaman hukumannyapun serius. Tiga sampai lima belas tahun penjara bagi para pelakunya.

Memikirkan bahwa Rama IX akan mangkat pada suatu waktu adalah hal yang tak terbayangkan bagi rakyat Thailand. Rekan-rekan mahasiswa Thailand saya, ketika suatu kali saya bertanya apa yang akan terjadi pada Thailand apabila suatu waktu Rama IX mangkat, menjawab seperti ini :

“I have no guts to imagine that someday he will pass away,” atau
“I wish he will live forever”, atau
“Please don’t ask it, that’s very difficult question.”   

Kekhawatiran tersebut masuk akal. Siapapun pengganti Rama IX,  diramalkan tak akan memiliki legacy, wibawa dan karisma sekuat Rama IX. Padahal selama ini Rama IX adalah faktor perekat dan pemersatu Thailand. Kedigjayaan dan kewibawaan monarkhi takkan sekuat dan seberpengaruh ketika di bawah Rama IX.  Fraksi-fraksi politik yang bertikai takkan lagi punya patron yang dihormati, disegani, ditaati dan ditakuti. Ancaman chaos politik berkepanjangan membayang di hadapan mata.

Raja Rama IX memang adalah segalanya bagi Rakyat Thailand. Sebuah surat kabar berbahasa Inggris di Thailand menyebutkan : “The King is everything for people of Thailand, he is their hearts and minds.” Maka, tak heran,  kalimat penghormatan “Long Live The King” senantiasa bergema dimana-mana.

Kini Rama IX sudah berangkat. Namun Thailand harus tetap survive, tetap move on. One life ends, others continue, dalam bahasa guru saya di Thailand. Kehidupan Rama IX memang sudah berakhir. Namun kehidupan Thailand harus terus berlangsung. Legacy nya harus terus  dipelihara dan menjiwai kehidupan negeri dan bangsa Thailand. Inilah makna ‘Long Live the King’ yang sesungguhnya.

Semoga saja the “land of smile” akan terus tersenyum sampai kapanpun. Berkabung secara mendalam adalah amat wajar, namun senyum dan harapan harus terus dikembangkan. Suu suu Thailand !

Comments

Popular Posts