Sekolah Doktor : Sekolah “Serius” Atau “Setengah Serius”?

Sudah lama sebenarnya ingin menulis tentang fenomena dosen yang sedang studi lanjut S3 tetapi masih masih melaksanakan kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (PT) di kampus (mengajar, penelitian, pengabdian masyarakat, menguji pendadaran, atau……..tetap menjabat sebagai pejabat struktural di kampus).

Beberapa waktu yang lalu sempat ngobrol dengan salah satu kolega di Indonesia,
Kolega     : “Dosen-dosen yang pada kuliah di ******** itu kok pada banyak di kampus ya, masih bisa aktif menjabat, jadi ******* *** dsb?”
Saya         : “He….he…he…”
Kolega     : “Cuma ******* aja ya yang gitu?”
Saya         : “Aku juga heran sudah sejak lama terutama yang Bu **** Fak *****”
                    ” Malah kukira dulu Bu **** apa nggak jadi sekolah….he…he…he…”
                    ” Ternyata malah sudah mulai sekolah tapi tetap beraktivitas di ***”
Kolega      : ” Itu Bu ****, Pak *** *******, Pak ******”
                     ” Lah foto-fotonya di status WA itu masih eksis di kampus je”

Sepotong dialog di atas yang ingin saya hubungkan dengan judul di atas terutama terkait dengan kualitas riset dan publikasi yang harus kita lakukan selama menjalani studi lanjut S3.

Sudah lama sebenarnya rasa penasaran itu muncul terkait dengan fenomena di atas. Penasaran bagaimana cara orang-orang itu menempuh studi S3-nya tetapi juga masih terlibat aktif menjalankan aktivitas di kampus. Dan yang lebih gilanya lagi, sebagian dari mereka itu sedang menempuh studi S3 di luar negeri, bukan di Indonesia.

Fenomena dosen sekolah S3 tetapi masih tetap melaksanakan Tri Darma PT di kampus menurut saya adalah sebagai bentuk cara untuk menembus celah terhadap aturan pemerintah terkait dengan status dosen belajar, yaitu tugas belajar dan ijin belajar. Mengapa ada klasifikasi status studi lanjut: tugas belajar (bebas tugas) dan ijin belajar (aktif tugas)? Apakah program studi doktor kita terbagi menjadi “sekolah serius” atau “sekolah setengah serius”? Untuk dosen yang ijin belajar, seolah ada program doktor “setengah serius” yang bisa ditempuh “sambilan” sembari tetap aktif melaksanakan Tri Darma PT. Tampaknya aturan ini kurang kondusif untuk meningkatkan kualitas publikasi ilmiah yang diharapkan. Untuk dosen yang tugas belajar, seolah program doktor yang ditempuh adalah “sekolah serius” dan penuh waktu sehingga tabu melakukan tugas akademik. Singkatnya, studi doktor dapat dilakoni secara “sambilan”, kegiatan utama tetap mengajar. Jika demikian, bagaimana bisa meneliti dengan baik dan kemudian melakukan publikasi ke jurnal bereputasi?

Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya bahwa di pergaulan akademik internasional, eksistensi seorang doktor ditentukan oleh publikasi internasionalnya atau keterlibatannya dalam berbagai kerjasama ilmiah internasional. Ada pepatah barat yang mengatakan: publish or perish. Ungkapan yang ditujukan kepada para ilmuwan ini mematok publikasi sebagai syarat eksistensi mereka (baca : Apa menariknya punya gelar doktor?). Karakteristik studi S3 mengharuskan kita untuk dapat melakukan riset secara mandiri. Hal ini mengandung konsekuensi menuntut kita untuk memberikan 100% atau bahkan 120% waktu dan tenaga kita untuk studi lanjut yang kita tempuh. Sehingga, saya mengaminkan apa yang pernah ditulis oleh Saudara Rijal Ramdani (baca :Dahsyatnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah) bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi lanjut di Khon Kaen University termasuk salah satunya adalah saya sendiri “dipaksa” oleh profesor-profesor kami untuk melakukan riset dan publikasi yang berkualitas. Bahkan 120% waktu dan tenaga yang saya berikan untuk studi dan riset kami terkadang masih dianggap kurang oleh para pembimbing saya.

Di sisi lain, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa beban pekerjaan seorang dosen di kampus sangat luas biasa tinggi meliputi tugas Tri Darma PT dan pekerjaan administratif. Beban pekerjaan administrasif seorang dosen bahkan jauh lebih banyak menyita waktu dan tenaga dibandingkan pekerjaan Tri Darma PT. Apalagi untuk dosen yang juga memegang jabatan struktural di kampus, beban pekerjaan administrasif akan bertambah tinggi lagi. Saya mengalami sendiri dimana beban pekerjaan administrasif menyita lebih banyak waktu dan tenaga karena di rentang tahun 2005 – 2016 pernah mengisi beberapa posisi jabatan struktural di kampus.

Dengan melihat dua karakteristik kondisi yang sangat berbeda di atas dan fenomena dosen studi lanjut S3 terlebih studi ke luar negeri tetapi kegiatan utama tetap mengajar, ada sebuah pertanyaan besar apakah mereka mampu meletakkan diri mereka sehingga berada di jalur yang benar, on the track, menuju sasaran publikasi internasional yang berkualitas dan keterlibatannya dalam berbagai kerjasama ilmiah internasional ?

Jika seorang dosen sedang menempuh studi lanjut S3, maka umumnya ia berstatus tugas belajar dan dibebaskan dari tugas akademik. Jika ia adalah dosen profesional, maka tunjangan profesinya dihentikan selama tugas belajar. Bahkan, sebenarnya, selama tugas belajar; jabatan akademik dosen adalah nonaktif dan karenanya tunjangan fungsionalnya juga dihentikan. Kondisi ini sepertinya juga menyebabkan dosen lebih memilih status ijin belajar daripada tugas belajar. Lebih memilih tunjangan profesi dan dapat melakukan Tri Darma PT, dan tentu, angka kreditnya diperhitungkan. Ternyata ada faktor ekonomi juga di balik fenomena dosen sekolah S3 tetapi masih tetap melaksanakan Tri Darma PT di kampus. He…he….he…..

Penyebab fenomena dosen sekolah S3 tetapi masih tetap melaksanakan Tri Darma PT di kampus yang lain adalah faktor simbiosis mutualisme, yaitu hubungan interaksi yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Siapakah kedua belah pihak yang dimaksud? Mereka adalah perguruan tinggi (universitas/fakultas/jurusan) dan dosen yang sedang studi lanjut. Hubungan saling menguntungkan yang terjadi adalah bagi dosen yang sedang studi lanjut masih dapat melaksanakan Tri Dharma PT dan memperoleh hak-hak mereka sebagai dosen profesional sedangkan bagi perguruan tinggi sepertinya mereka memperoleh keuntungan dari status ijin belajar dosen yang studi lanjut karena fakultas/jurusan tidak perlu direpotkan mencari pengganti dosen pengampu mata kuliah yang ditinggalkan oleh dosen yang bersangkutan selama sekolah. Jadi sepertinya mereka berprinsip selama masih bisa dipasang mengajar, kenapa tidak???…….. Kondisi ini diperkuat dengan semakin banyaknya program doktor di Indonesia sehingga bisa menempuh pendidikan doktor di kota atau wilayah sendiri, semakin memperkuat “anggapan” studi lanjut secara “sambilan” itu.

Lantas bagaimana dengan dosen dosen yang studi di luar negeri tetapi masih tetap aktif mengajar dan menjabat struktural di kampus? Entahlah…..mungkin mereka adalah orang-orang pilihan, manusia  super, manusia setengah dewa….

Tulisan ini adalah opini saya terhadap fenomena dosen sekolah S3 tetapi masih tetap melaksanakan Tri Darma PT di kampus berdasarkan dari observasi saya bertahun-tahun serta pengalaman pribadi saya menolak tawaran dari universitas saya untuk tetap mengajar di kampus sembari menempuh studi S3 saya di Thailand. Alasan saya menolak adalah karena mengajar bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban menyampaikan materi kepada mahasiwa, tetapi lebih kepada rasa tanggung jawab moral terhadap tingkat pemahaman dari mahasiswa terhadap materi kuliah yang saya sampaikan.

Comments

Popular Posts